Minggu, 29 Mei 2016

MACAM MACAM ASAL BUDAYA DI INDONESIA

Macam-macam Asal Budaya Daerah Asal Provinsi di Indonesia. Indonesia negara dengan berbagai ras dan suku mempunyai banyak kebudayaan.
Bila dilihat dari macam-macam budayanya, mungkin Indonesia adalah negara paling kaya dibandingkan dengan negara lain. Bagaimana tidak? Indonesia adalah negara yang terdiri dari banyak pulau, di mana tiap pulau memiliki suku bangsa yang berbeda-beda pula. Hal ini membuat kebudayaan Indonesia benar-benar beraneka ragam. Kebudayaan itu sendiri sangat bermacam-macam, mulai dari teknologi, bahasa, kesenian, dongeng, atau tradisi daerah yang beragam. Setiap daerah di Indonesia, memiliki kebudayaan-kebudayaan itu dengan ciri khas masing-masing.


Macam-macam Rumah Adat Propinsi di Indonesia

1. Kebaya di Jakarta.
2. Kesepuhan di Jawa Barat.
3. Rumah Panggung di Banten.
4. Rumah Joglo di DI. Yogyakarta.
5. Joglo di Jawa Tengah.
6. Rumah Joglo di Jawa Timur.
7. Rumoh Aceh di Aceh.
8. Balai Batak Toba di Sumatera Utara.
9. Nuwo Sesat di Lampung.
10. Rumah Gadang di Sumatera Barat.
11. Rumah Limas di Sumatera Selatan.
12. Rumah Melayu di Riau.
13. Rumah Panggung di Jambi.
14. Bumbungan Lima di Bengkulu.
15. Rumah Belah Bubung di Kepulauan Riau.

Macam-macam Lagu Daerah Propinsi di Indonesia
  1. Lagu Ampar-Ampar Pisang berasal dari daerah provinsi Kalimantan Selatan
  2. Lagu Anak Kambing Saya berasal dari daerah provinsi NTT
  3. Lagu Angin Mamiri berasal dari daerah provinsi Sulawesi Selatan
  4. Lagu Anju Ahu berasal dari daerah provinsi Sumatra Utara
  5. Lagu Apuse berasal dari daerah provinsi Papua
  6. Lagu Ayam Den Lapeh berasal dari daerah provinsi Sumatra Barat
  7. Lagu Barek Solok berasal dari daerah provinsi Sumatra Barat
  8. Lagu Batanghari berasal dari daerah provinsi Jambi
  9. Lagu Bolelebo berasal dari daerah provinsi Nusa Tenggara Barat
  10. Lagu Bubuy Bulan berasal dari daerah provinsi Jawa Barat
  11. Lagu Bungong Jeumpa berasal dari daerah provinsi NAD
  12. Lagu Burung Tantina berasal dari daerah provinsi Maluku
  13. Lagu Butet berasal dari daerah provinsi Sumatra Utara
  14. Lagu Cik-Cik Periuk berasal dari daerah provinsi Kalimantan Barat
  15. Lagu Cing Cangkeling berasal dari daerah provinsi Jawa Barat

Macam-macam Tarian Daerah Propinsi di Indonesia

1. Provinsi DI Aceh: Tari Seudati, Tari Saman Meuseukat
2. Provinsi Sumatera Utara: Tari Serampang Dua Belas, Tari Tor-tor
3. Provinsi Sumatera Barat : Tari Piring, Tari payung
4. Provinsi Riau: Tari Tanduk, Tari Joged Lambak
5. Provinsi Jambi: Tari Sekapur Sirih, Tari Selampit Delapan
6. Provinsi Sumatera Selatan: Tari Tanggai, Tari Putri Bekhusek
7. Provinsi Lampung: Tari Jangget, Tari Melinting
8. Provinsi Bengkul: Tari Andun, Tari Bidadei Teminang
9. Provinsi DKI Jakarta: Tari Topeng, Tari Yapong
10. Provinsi Jawa Barat: Tari Topeng Kuncaran, Tari Merak
11. Provinsi Jawa Tengah: Tari Serimpi, Tari bambangan Cakil
12. Provinsi DI Yogyakarta: Tari Serimpi Sangupati, Tari Bedaya
13. Provinsi Jawa Timur: Tari Remong, Tari Reog Ponorogo
14. Provinsi Bali: Tari Legong, Tari Kecak
15. Provinsi Nusa Tenggara Barat: Tari Mpaa Lenggo, Tari Batunganga

Macam-macam Suku Daerah Propinsi di Indonesia
  1.  Suku Aceh di Aceh: kabupaten Aceh Besar
  2.  Suku Alas di kabupaten Aceh Tenggara
  3.  Suku Alor di NTT: kabupaten Alor
  4.  Suku Ambon di kota Ambon
  5.  Suku Ampana di Sulawesi Tengah
  6.  Suku Anak Dalam di Jambi
  7.  Suku Aneuk Jamee di kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat Daya
  8.  Suku Arab-Indonesia
  9.  Suku Aru di Maluku: Kepulauan Aru
  10.  Suku Asmat di Papua
  11.  Suku Abung di Lampung
  12.  Suku Balantak di Sulawesi Tengah
  13.  Suku Banggai di Sulawesi Tengah: Kabupaten Banggai Kepulauan
  14.  Suku Baduy di Banten


Sumber Artikel : http://gudangnews.info/#ixzz4A7SKvLa1

Asal Usul Betawi

Asal Usul Suku Betawi

Suku Betawi adalah salah satu suku bangsa Indonesia, penghuni awal Kota Jakarta dan sekitarnya.

Sejarawan Sagiman MD, menyatakatan bahwa eksistensi suku Betawi telah ada, sejak Zaman Batu Baru (Neoliticum), dimana penduduk asli Betawi berasal dari Nusa Jawa; orang Jawa, Sunda, dan Madura.

Pendapat senada datang dari Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977),” mengungkapkan bahwa, Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3.500 – 3.000 SM (Sebelum Masehi).

Selain penelitian di atas, ada pula penelitian yang dilakukan Lance Castles, yang  menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yakni:
  1. Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia
  2. Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815
  3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
  4. Sensus Penduduk yang dibuat penjajah Hindia Belanda pada tahun 1930
Dalam semua sketsa sejarah Lance Castles, yang dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa inilah yang oleh banyak ahli sejarah lainnya dirasakan kurang lengkap, untuk sebuah penjelasan asal mula Suku Betawi. Hal ini dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi), sudah ditemukan kata "Negeri Betawi"

Etimologi Betawi
Mengenai asal mula kata Betawi, menurut ahli sejarah ada beberapa acuan:
  • Pitawi (Bahasa Melayu Polynesia Purba) yang artinya “Larangan.” Kosa kata ini mengacu pada komplek situs di daerah “Batu Jaya,” Karawang.  Hal ini diperkuat oleh sejarahwan Ridwan Saidi, dengan mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan tersebut merupakan sebuah Kota Suci yang dahulunya tertutup.
  • Betawi (Bahasa Melayu Brunei) mempunyai makna giwang. Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi. Dimana di wilayah ini hingga tahun 1990-an masih sempat ditemukan banyak giwang emas dari abad ke-11 M.
  • Flora Guling Betawi (Cassia Glauca), Famili Papilionaceae adalah sejenis tanaman Perdu, yang kayunya bulat kokoh seperti guling, tetapi mudah diraut. Zaman dulu jenis kayu ini banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata; keris atau gagang pisau. Tanaman ini banyak tumbuh di Nusa Kelapa, beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sedangkan di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Perbedaan pengucapan pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, ini biasa terjadi, seperti kata tanya “apakah” atau “apatah” yang memiliki makna yang sama. Kemungkinan nama Betawi berasal dari jenis tanaman bisa jadi benar. Sejarahwan Ridwan Saidi; beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat, atau daerah yang ada di Jakarta. Sebagai contoh; Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dlsb. "Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis Rerumputan." Dengan demikian kosa kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia".
Sedangkan Batavia merupakan nama Latin untuk Tanah Batavia, yang  pada zaman Romawi, diperkirakan terletak di sekitar kota Nijmegen, Belanda, dimana saat ini sisa-sisa lokasi tersebut dikenal sebagai “Betuwe”.

Selama Renaisans, sejarawan Belanda mencoba untuk melegitimasi Batavia menjadi sebuah status "Nenek Moyang" mereka, selanjutnya menyebut diri sebagai Orang-orang Batavia.
Hal ini yang membuat munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama "Batavia" untuk nama koloni mereka.

Seperti yang terjadi di Indonesia, dimana mereka mengganti nama Kota Jayakarta menjadi Batavia dari tahun 1619-1942.

Setelah 1942 nama Batavia diubah lagi menjadi Djakarta.
Nama Batavia juga digunakan di Suriname, dan di Amerika Serikat, karena mereka juga mendirikan kota Batavia, Newyork, hingga ke barat Amerika Serikat, seperti; Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.

Sedangkan penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku, pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama “Perkoempoelan Kaoem Betawi” pada tahun 1923, yang diprakarsai oleh Husni Thamrin.
Sejarah
3500 – 3000 SM (Sebelum Masehi)
  • Menurut Sejarawan Sagiman MD, sejarah Betawi sudah ada sejak Zaman Batu (Neolitikum).
  • Menurut Yahya Andi Saputra, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa, yang merupakan Satu Kesatuan Budaya. Bahasa, Kesenian, dan Adat Kepercayaan, tetapi kemudian menjadikan mereka sebagai suku sendiri. Yang kemungkinan disebabkan oleh, antara lain:
  1. Pertama, munculnya Kerajaan-kerajaan.
  2. Kedua, Kedatangan bangsa dan Pengaruh bangsa dari luar Nusa Jawa.
  3. Ketiga, adanya Perkembangan Kemajuan Ekonomi dari masing-masing daerah.
Abad ke-2
Menurtut Yahya Andi Saputra,  Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor.

Abad ke 5
Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara, dimana perdagangan dengan Cina telah maju, yang ditandai oleh adanya pengiriman Utusan Dagang ke Cina dari Salakanagara pada tahun 432.

Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum, yang dianggap oleh sebagian sejarawan, bahwa Tarumanagara merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara, yang memindahan ibukota kerajaannya dari kaki Gunung Salak ke Tepi Kali Citarum.
Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara, dengan Ibukota Kerajaan yang terletak di tepi Sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi.
Candra berarti bulan atau sasi, menjadi Bhagasasi / Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara (Hindu).
Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya (Budha).
Pada saat inilah berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera, kemudian mereka mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta, yang kemudian lambat laun (dengan pola asimilasi) bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.
Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja, namun kemudian meluas hingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede.
Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga.
Abad ke-10
Sekitar abad ke-10, terjadi persaingan antara orang Melayu (Kerajaan Sriwijaya) dengan Wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri.
Persaingan yang berujung dengan peperang, dimana orang-orang Cina demi kelangsungan perniagaan mereka, mereka berdiri di dua kaki, atau sebagian berpihak ke Kerajaan Sriwijaya, dan sebagian berpihak ke Kerajaan Kediri.
Usai perang, kendali lautan dibagi dua;
  • Sebelah Barat mulai dari Cimanuk, juga Pelabuhan Sunda dikendalikan Sriwijaya.
  • Sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri.
Sriwijaya meminta Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi Syailendara lambat-laun tidak sanggup, akhirnya  Sriwijaya terpaksa mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa.
Pada periode inilah terjadi penyebaran bahasa Melayu yang signifikan di Kerajaan Kalapa, karena  gelombang imigrasi yang lebih besar daripada penduduk asli yang menggunakan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa.

Periode Kolonial Eropa
Abad ke-16
Perjanjian antara Surawisesa (Raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512, mengizinkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa, yang mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis, yang pada akhirnya menurunkan darah campuran Portugis.
Dari komunitas campuran inilah lahir musik Keroncong, atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, VOC memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian, dan membangun roda perekonomian kota ini.
Saat itulah VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.
Olehkarenanya masih ada tersisa kosa-kata dan tata-bahasa Bali dalam bahasa Betawi saat ini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Dunia, juga seperti; Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini.
Pengaruh suku bangsa asing yang datang inilah, terlihat dari busana pengantin Betawi yang banyak unsur Arab dan Tiongkok.
Berbagai nama tempat di Jakarta menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa lain ke Batavia, seperti; Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis.
Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.

Abad ke-20
Menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi.
Antropolog lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas (pada saat itu adalah Hindia Belanda), yakni dengan munculnya Perkoempoelan Kaoem Betawi pada tahun 1923, yang digagas oleh Husni Thamrin, sebagai tokoh masyarakat Betawi.
Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda, tetapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut, yang disebut sebagai masyarakat proto Betawi.
Penduduk lokal di luar benteng Batavia, kala itu sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera.

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri pendatang dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi, menjadi warga tuan rumah yang minoritas.
Pada tahun 1961, 'suku' Betawi bejumlah kurang lebih 22,9 persen dari + 2,9 juta penduduk Jakarta pada saat itu, hal ini menunjukan orang-orang Betawi semakin terdesak ke pinggiran, bahkan tergusur ke luar Jakarta.

Seni dan kebudayaan
Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi.
Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo .
Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara, yang kemudian dikenal sebagai "Kalapa" (Sekarang Jakarta), merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara.
Percampuran budaya, sudah ada sejak masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa, dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal, dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli, dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.
Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap  budaya asing, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.

Suku Betawi sebagai warga asli Jakarta agak tersingkirkan oleh pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun Budaya Barat dan Timur Tengah.

Bahasa
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno), dengan menggunakan huruf  hanacaraka. Penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta, dan sekitarnya sejak Zaman Batu.

Sifat campur-aduk dalam Bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Hingga kini, masih banyak nama daerah, dan nama sungai yang masih tetap menggunakan bahasa Sunda, seperti; Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung, dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Dialek Betawi terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara).

Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan dan pinggir Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong.

Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a".

Musik
Dalam bidang kesenian, orang Betawi memiliki Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor, dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".

Tari
Seni tari Betawi merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contoh: tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain.
Pada awalnya, seni tari Betawi dipengaruhi budaya Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.
Drama
Drama tradisional Betawi, antara lain: Lenong, dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.
Cerita rakyat.
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi, baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras".
Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo, atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

Rumah tradisional
Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya

Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis.

Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, Raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa, sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa.

Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Profesi
Di Jakarta, orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing.

Kampung Kemanggisan dan sekitar Rawabelong, banyak yang berprofesi petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik, antara lain K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, dan pembatik juga banyak digelutinya.

Kampung Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah.

Kampung Kemandoran dimana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai di wilayah ini, antara lain; Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong.
Kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet adalah orang-orang Betawi gusuran dari Senayan, karena dicanangkannya program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno, guna pembuatan Kompleks Olah Raga / Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang.

Perilaku dan sifat
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012) .

Ada beberapa hal yang positif dari orang Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebihan, dan cenderung tendensius.
Sumber : dari berbagai sumber

Budaya Jawa di Indonesia

Suku bangsa Jawa 

   Suku bangsa Jawa adalah suku bangasa Indonesia yang paling banyak jumlahnya, menempati seluruh daerah jawa tengah, jawa timur dan sebagian jawa barat mereka menggunakan bahasa jawa secara keseluruhan, hanya saja terdapat perbedaan dialek di daerah tertentu. Suku bangsa jawa termasuk suku bangsa yang telah maju kebudayaannya, karena sejak zaman dahulu mereka telah banyak mendapat pengaruh dari berbagai kebudayaan, seperti : kedubayanan Hindu, Budha, Islam dan Eropa. Setelah mengetahui suku bangsa di Indonesia maka sekarang penyusun akan membahas tentang salah satu suku di Indonsia yaitu Suku jawa.

SISTEM KEPERCAYAAN ATAU RELIGI
  Agama yang dianut oleh sebagian besar suku jawa adalah Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan budha.
Pemeluk Agama Islam dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:

1.Golongan Islam Santri, yaitu golongan yang menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran Islam dengan syariat-syariatnya.
2.Golongan Islam Kejawen, yaitu golongan yang percaya pada ajaran Islam, tetapi tidak patuh menjalankan syariat Islam dan masih percaya kepada kekuatan lain.
Selain itu, orang Jawa masih percaya pada hal yang gaib atau kekuatan lain:

1.Percaya pada makhluk-makhluk halus seperti memedi, genderuwo, tuyul, setan, dan lain-lain.
2.Percaya pada hari baik atau naas.
3.Percaya pada hari kelahiran atau weton.
4.Percaya pada benda-benda pusaka, jimat, dan sejenisnya.
Sehubungan dengan berbagai kepercayaan, maka dilaksanakan upacara-upacara selametan sebagai berikut:


ØUpacara selametan yang berhubungan dengan lingkaran hidup manusia, seperti mitoni, kematian, dan lainnya.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan kehidupan desa, seperti bersih desa, penggarapan pertanian, dan lainnya.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan pernikahan, seperti selamatan sepasaran setelah pernikahan.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan peringatan hari-hari atau bulan-bulan besar Islam, seperti sekatenan atau grebeg maulud, sura, dan sebagainya.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu, seperti melakukan perjalanan jauh, mulai membuat rumah, dan sebagainya.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan orang meninggal dunia, seperti selametan surtanah atau  (geblak), nelung dina, dan lainnya.

SISTEM KEKERABATAN
   Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan bilateral atau parental, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari bapak/ibu.
Istilah- istilah yang digunakan dalam sistem kekerabatan Jawa sebagai berikut:
1.Pakde dan Bude (uwa), yaitu semua kakak dari bapak dan ibu, baik laki-laki maupun perempunan beserta suami dan istrinya.
2.Paklik (Paman) dan Bulik (bibi), yaitu semua adik dari ayah dan ibu,baik laki-laki maupun perempuan beserta suami dan istrinya.
3.Nak Ndulur (Sepupu), yaitu anak dari pakde-bude dan paklik-bulik.
4.Misan, yaitu anak dari saudara sepupu.
Pada masyarakat Jawa, perkawinan dianggap ideal apabila diukur dari segi keyakinan dan kesamaan adat yang menunjukan adanya pemilihan jodoh ideal.
Ukuran ideal bagi pria adalah perhitungan bibit, bebet, dan bobot. Sedangkan bagi wanita, perhitungannya didasarkan pada mugen, tegen, dan rigen.
Pernikahan yang dilarang, yaitu menikah dengan:
1.Saudara kandung.
2.Pancer lanang (anak dari dua saudara kandung laki-laki).
3.Pihak laki-laki lebih muda abunya dari pihak perempuan.

SISTEM POLITIK DAN KEMASYARAKATAN
1.Dahulu, pada suku Jawa terdapat stratifikasi sosial yang dikenal dengan golongan bendoro, priyayi, dan wong cilik.
2.Stratifikasi sosial berdasarkan kepemilikan tanah, yaitu wong baku, kuli gondok (lindung), dan sinoman.
3.Dalam bidang pemerintah, pamong desa memilih seorang kepala desa (lurah) dengan semua pembantunya, seperti carik, juga tirta (ulu-ulu), dan juga baya. Tugas utama mereka adalah untuk meningkatkan kesejahteraan desa.

SISTEM EKONOMI
Sistem perekonomian masyarakat Jawa mencakup
1) Pertanian
Yang dimaksud pertanian disini terdiri atas pesawahan dan perladangan (tegalan), tanaman utama adalah padi. Tanaman lainnya jagung, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau dan sayur mayor, yang umumnya ditanam di tegalan. Sawah juga ditanami tanaman perdagangan, seperti tembakau, tebu dan rosella.
2) Perikanan
Adapun usaha yang dilakukan cukup banyak baik perikanan darat dan perikanan laut. Perikanan laut diusahakan di pantai utara laut jawa. Peralatannya berupa kail, perahu, jala dan jarring
3) Peternakan
Binatang ternak berupa kerbau, sapi, kambing, ayam dan itik dan lain-lain.
4) Kerajinan
Kerajinan sangat maju terutama menghasilkan batik, ukir-ukiran, peralatan rumah tangga, dan peralatan pertanian.
    Adapun mata pencaharian dalam suku Jawa atau masyaraakat Jawa biasanya bermata pencaharian bertani, baik bertani di sawah maupun tegalan, juga Beternak pada umumnya bersipat sambilan, selain itu juga masyarakat Jawa bermata pencaharian Nelayan yang biasanya dilakukan masyarakat pantai.

SISTEM KESENIAN


























                                                                       











Sistem kesenian Jawa meliputi:
  Bentuk rumah adat, misalnya rumah joglo, rumah l     imasan, dan lain-lain.
  Seni tari, misal Tari Serimpi, Tari Gambyong, Tari Merak, dan lainnya.
  Seni tembang, seperti Sewu Ora Jamu, Ngidung, dan sebagainya.
  Pakaian Adat Jawa dapat berupa beskap, kebaya, batik, dan lain-lain.

Etika seksual jawa
    Mengenai etika seksual di jawa tidak ada superior ataupun interior,semua pria dan wanita sama saja. Hanya tanggung jawabnya saja yang berbeda.dalam bidang seksual, masyarakat jawa condong untuk bersikap tegas. pada setiap perayaan-perayaan di desa, pria dan wanita duduk secara terpisah.
Para orang tua melarang keras jika putrinya berjalan dengan seorang pria. Mereka berpendapat bahwa anak muda tidak dapat menahan emosinya, Sehingga mereka takut terjadi sesuatu kepada putrinya.

Kesimpulan: Pada dasarnya di Indonesia merupakan bangsa yang paling banyak suku-nya diantara bangsa-bangsa yang lain dan diantara suku-suku itu yang paling banyak jumlah penduduknya yaitu suku bangsa Jawa sendiri yang menempati seluruh daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan juga Jawa Barat. Adapun sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Jawa lebih didasarkan pada prinsip keturunan bilateral atau parental, sedangkan sistem klasifikasi dilakukan menurut angkatan-angkataya. Dalam system religi / kepercayaan suku Jawa mayoritas Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat suku Bangsa jawa. Walaupun ada sebagian lagi yang menganut bukan Islam yaitu Nasrani, Hindu, Budha dan aliran kejawen. Disini yang dimasud Islam yang dianut-Nya Islam Santri dan Islam Kejawen.


Sumber : http://danu-umbara18.blogspot.co.id/2013/04/kebudayaan-suku-jawa-di-indonesia.html

BUDAYA SUNDA DI INDONESIA

Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. "Kegemilangan" kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.

Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.

A.Apa itu Sunda?

Sunda berasal dari kata Su = Bagus/ Baik, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah dijalankan sejak jaman Salaka Nagara sampai ke Pakuan Pajajaran, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.

Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa namun dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara. Sejak dari awal hingga kini, budaya Sunda terbentuk sebagai satu budaya luhur di Indonesia. Namun, modernisasi dan masuknya budaya barat lambat laun mengikis keluhuran budaya Sunda, yang membentuk etos dan watak manusia Sunda.

Makna kata Sunda sangat luhur, yakni cahaya, cemerlang, putih, atau bersih. Makna kata Sunda itu tidak hanya ditampilkan dalam penampilan, tapi juga didalami dalam hati. Karena itu, orang Sunda yang 'nyunda' perlu memiliki hati yang luhur pula. Itulah yang perlu dipahami bila mencintai, sekaligus bangga terhadap budaya Sunda yang dimilikinya.

Setiap bangsa memiliki etos, kultur, dan budaya yang berbeda. Namun tidaklah heran jika ada bangsa yang berhasrat menanamkan etos budayanya kepada bangsa lain. Karena beranggapan, bahwa etos dan kultur budaya memiliki kelebihan. Kecenderungan ini terlihat pada etos dan kultur budaya bangsa kita, karena dalam beberapa dekade telah terimbas oleh budaya bangsa lain. Arus modernisasi menggempur budaya nasional yang menjadi jati diri bangsa. Budaya nasional kini terlihat sangat kuno, bahkan ada generasi muda yang malu mempelajarinya. Kemampuan menguasai kesenian tradisional dianggap tak bermanfaat. Rasa bangsa kian terkikis, karena budaya bangsa lain lebih terlihat menyilaukan. Kondisi memprihatinkan ini juga terjadi pada budaya Sunda, sehingga orang Sunda kehilangan jati dirinya.

Untuk menghadapi keterpurukan kebudayaan Sunda, ada baiknya kita melangkah ke belakang dulu. Mempelajari, dan mengumpulkan pasir mutiara yang berserakan selama ini. Banyak petuah bijak dan khazanah ucapan nenek moyang jadi berkarat, akibat tidak pernah tersentuh pemiliknya. Hal ini disebabkan keengganan untuk mempelajari dengan seksama, bahkan mereka beranggapan ketinggalan zaman. Bila dipelajari, sebenarnya pancaran etika moral Sunda memiliki khazanah hikmah yang luar biasa. Hal itu terproyeksikan lewat tradisinya. Karena itu, marilah kita kenali kembali, dan menguak beberapa butir peninggalan nenek moyang Sunda yang hampir.

Ada beberapa etos atau watak dalam budaya Sunda tentang satu jalan menuju keutamaan hidup. Selain itu, etos dan watak Sunda juga dapat menjadi bekal keselamatan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Etos dan watak Sunda itu ada lima, yakni cageur, bageur, bener, singer, dan pinter yang sudah lahir sekitar jaman Salakanagara dan Tarumanagara. Ada bentuk lain ucapan sesepuh Sunda yang lahir pada abad tersebut. Lima kata itu diyakini mampu menghadapi keterpurukan akibat penjajahan pada zaman itu. Coba kita resapi pelita kehidupan lewat lima kata itu. Semua ini sebagai dasar utama urang Sunda yang hidupnya harus 'nyunda', termasuk para pemimpin bangsa.

Cara meresapinya dengan memahami artinya. Cageur, yakni harus sehat jasmani dan rohani, sehat berpikir, sehat berpendapat, sehat lahir dan batin, sehat moral, sehat berbuat dan bertindak, sehat berprasangka atau menjauhkan sifat suudzonisme. Bageur yaitu baik hati, sayang kepada sesama, banyak memberi pendapat dan kaidah moril terpuji ataupun materi, tidak pelit, tidak emosional, baik hati, penolong dan ikhlas menjalankan serta mengamalkan, bukan hanya dibaca atau diucapkan saja. Bener yaitu tidak bohong, tidak asal-asalan dalam mengerjakan tugas pekerjaan, amanah, lurus menjalankan agama, benar dalam memimpin, berdagang, tidak memalsu atau mengurangi timbangan, dan tidak merusak alam. Singer, yaitu penuh mawas diri bukan was-was, mengerti pada setiap tugas, mendahulukan orang lain sebelum pribadi, pandai menghargai pendapat yang lain, penuh kasih sayang, tidak cepat marah jika dikritik tetapi diresapi makna esensinya. Pinter, yaitu pandai ilmu dunia dan akhirat, mengerti ilmu agama sampai ke dasarnya, luas jangkauan ilmu dunia dan akhirat walau berbeda keyakinan, pandai menyesuaikan diri dengan sesama, pandai mengemukakan dan membereskan masalah pelik dengan bijaksana, dan tidak merasa pintar sendiri sambil menyudutkan orang lain.

B.Budaya Sunda

Suku Sunda merupaka suku yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Suku sunda adalah salah satu suku yang memiliki berbagai kebudayaan daerah, diantaranya pakaian tradisional, kesenian tradisional, bahasa daerah, dan lain sebagainya.

Diantara sekian banyak kebudayaan daerah yang dimiliki oleh suku sunda adalah sebagai berikut :

1. Pakaian Adat/Khas jawa Barat
Suku sunda mempunyai pakaian adat/tradisional yang sangat terkenal, yaitu kebaya. Kebaya merupakan pakaian khas Jawa Barat yang sangat terkenal, sehingga kini kebaya bukan hanya menjadi pakaian khas sunda saja tetapi sudah menjadi pakaian adat nasinal. Itu merupakan suatu bukti bahwa kebudayaan daerah merupakan bagian dari kebudayaan nasional.

2. Kesenian Khas Jawa Barat

a. Wayang Golek
Wayang Golek merupakan kesenian tradisional dari Jawa Barat yaitu kesenian yang menapilkan dan membawakan alur sebuah cerita yang bersejarah. Wayang Golek ini menampilkan golek yaitu semacam boneka yang terbuat dari kayu yang memerankan tokoh tertentu dalam cerita pawayangan serta dimainkan oleh seorang Dalang dan diiringi oleh nyanyian serta iringan musik tradisional Jawa Barat yang disebut dengan degung.

b. Jaipong
Jaipong merupakan tarian tradisional dari Jawa Barat, yang biasanya menampilkan penari dengan menggunakan pakaian khas Jawa Barat yang disebut kebaya, serta diiringi musik tradisional Jawa Bart yang disebut Musik Jaipong.
Jaipong ini biasanya dimainkan oleh satu orang atau sekelompok penari yang menarikan berakan – gerakan khas tari jaipong.

c. Degung
Degung merupakan sebuah kesenian sunda yang biasany dimainkan pada acara hajatan. Kesenian degung ini digunakan sebagai musik pengiring/pengantar.
Degung ini merupakan gabungan dari peralatan musik khas Jawa Barat yaitu, gendang, goong, kempul, saron, bonang, kacapi, suling, rebab, dan sebagainya.
Degung merupakan salah-satu kesenian yang paling populer di Jawa Barat, karena iringan musik degung ini selalu digunakan dalam setiap acara hajatan yang masih menganut adat tradisional, selain itu musik degung juga digunakan sebgai musik pengiring hampir pada setiap pertunjukan seni tradisional Jawa Barat lainnya.

d. Rampak Gendang
Rampak Gendang merupakan kesenian yang berasal dari Jawa Barat. Rampak Gendang ini adalah pemainan menabuh gendang secara bersama-sama dengan menggunakan irama tertentu serta menggunakan cara-cara tertentu untuk melakukannya, pada umumnya dimainkan oleh lebih dari empat orang yang telah mempunyai keahlian khusus dalam menabuh gendang. Biasanya rampak gendang ini diadakan pada acara pesta atau pada acara ritual.

e. Calung
Di daerah Jawa Barat terdapat kesenian yang disebut Calung, calung ini adalah kesenian yang dibawakan dengan cara memukul/mengetuk bambu yang telah dipotong dan dibentuk sedemikian rupa dengan pemukul/pentungan kecil sehingga menghasilkan nada-nada yang khas.
Biasanya calung ini ditampilkan dengan dibawakan oleh 5 orang atau lebih. Calung ini biasanya digunakan sebagai pengiring nyanyian sunda atau pengiring dalam lawakan.


f. Pencak Silat
Pencak silat merupakan kesenian yang berasal dari daerah Jawa Barat, yang kini sudah menjadi kesenian Nasional.
Pada awalnya pencak Silat ini merupakan tarian yang menggunakan gerakan tertentu yang gerakannya itu mirip dengan gerakan bela diri. Pada umumnya pencak silat ini dibawakan oleh dua orang atau lebih, dengan memakai pakaian yang serba hitam, menggunakan ikat pinggang dari bahan kain yang diikatkan dipinggang, serta memakai ikat kepala dari bahan kain yang orang sunda menyebutnya Iket.
Pada umumnya kesenian pencaksilat ini ditampilkan dengan diiringi oleh musik yang disebut gendang penca, yaitu musik pengiring yang alat musiknya menggunakan gendang dan terompet.

g. Sisingaan
Sisingaan merupakan kesenian yang berasal dari daerah Subang Jawa barat. Kesenian ini ditampilkan dengan cara menggotong patung yang berbentuk seperti singa yang ditunggangi oleh anak kecil dan digotong oleh empat orang serta diiringi oleh tabuhan gendang dan terompet. Kesenian ini biasanya ditampilkan pada acara peringatan hari-hari bersejarah.

h. Kuda Lumping
Kuda Lumping merupakan kesenian yang beda dari yang lain, karena dimainkan dengan cara mengundang roh halus sehingga orang yang akan memainkannya seperti kesurupan. Kesenian ini dimainkan dengan cara orang yang sudah kesurupan itu menunggangi kayu yang dibentuk seperti kuda serta diringi dengan tabuhan gendang dan terompet. Keanehan kesenian ini adalah orang yang memerankannya akan mampu memakan kaca serta rumput. Selain itu orang yang memerankannya akan dicambuk seperti halnya menyambuk kuda. Biasanya kesenian ini dipimpin oleh seorang pawang.
Kesenian ini merupakan kesenian yang dalam memainkannya membutuhkan keahlian yang sangat husus, karena merupakan kesenian yang cukup berbahaya.

i. Bajidoran
Bajidoran merupakan sebuah kesenian yang dalam memainkannya hampir sama dengan permainan musik modern, cuma lagu yang dialunkan merupakan lagu tradisional atau lagu daerah Jawa Barat serta alat-alat musik yang digunakannya adalah alat-alat musik tradisional Jawa Barat seperti Gendang, Goong, Saron, Bonang, Kacapi, Rebab, Jenglong serta Terompet.
Bajidoran ini biasanya ditampilkan dalam sebuah panggung dalam acara pementasan atau acara pesta.

j. Cianjuran
Cianjuran merupakan kesenian khas Jawa Barat. Kesenian ini menampilkan nyanyian yang dibawakan oleh seorang penyanyi, lagu yang dibawakannya pun merupakan lagu khas Jawa Barat. Masyarakat Jawa Barat memberikan nama lain untuk nyanyian Cianjuran ini yaitu Mamaos yang artinya bernyanyi.

k. Kacapi Suling
Kacapi suling adalah kesenian yang berasal dari daerah Jawa Barat, yaitu permainan alat musik tradisional yang hanya menggunakan Kacapi dan Suling. Kacapi suling ini biasanya digunakan untuk mengiringi nyanyian sunda yang pada umumnya nyanyian atau lagunya dibawakan oleh seorang penyanyi perempuan, yang dalam bahasa sunda disebut Sinden.

l. Reog
Di daerah Jawa Barat terdapat kesenian yang disebut Reog, kesenian ini pada umumnya ditampilkan dengan bodoran, serta diiringi dengan musik tradisional yang disebut Calung. Kesenian ini biasanya dimainkan oleh beberapa orang yang mempunyai bakat melawak dan berbakat seni. Kesenian ini ditampilkan dengan membawakan sebuah alur cerita yang kebanyakan cerita yang dibawakan adalah cerita lucu atau lelucon.

C.Benarkah Budaya Sunda Telah Terpuruk?

Pada zaman modern, tantangan serius yang menerjang daya tahan entitas kebudayaan, terutama kebudayaan lokal, seperti kebudayaan Sunda, adalah modernisasi dan globalisasi.

Selain kemampuan merespons tantangan zaman, kelangsungan kebudayaan juga sangat ditentukan fungsinya terhadap masyarakat. Dalam modernisasi yang makin gencar serta globalisasi yang makin kuat dan meraksasa, kebudayaan Sunda menghadapi problem yang sangat berat, yaitu terseret ke dalam kepunahan.

Sudah menjadi cerita lama bahwa bahasa Sunda adalah salah satu pelajaran yang tidak menarik dan dianggap kurang penting bagi para siswa. Minat siswa dan generasi muda pada umumnya terus berkurang. Karena problematika ini sudah muncul selama beberapa generasi, yang dirasakan kini adalah semakin langkanya guru bahasa Sunda yang memenuhi kualifikasi. Jumlah sastrawan Sunda, apalagi, sangat sedikit.

Di daerah urban, lingkungan masyarakat terdidik dan kelas menengah Jawa Barat, dewasa ini tumbuh subur desundanisasi bahasa, yaitu tren keluarga muda Sunda modern tidak menggunakan basa Sunda sebagai bahasa pengantar di lingkungan rumah dan keluarganya. Keluarga Sunda modern tidak berbahasa Sunda kepada anak-anaknya dan anak-anakya tidak berbahasa Sunda kepada teman-teman mereka. Mereka lebih memilih bahasa Indonesia yang dirasa lebih modern.

Di kalangan keluarga muda, ibu dan bapaknya menerapkan panggilan diri bagi anak-anaknya dengan papih-mamih, papa-mama, atau ayah-ibu. Tentu saja panggilan itu lebih bernuansa modern ketimbang abah-ambu, emih-apih, atau bapa-ema. Penggunaan basa Sunda, terutama yang halus, semakin lama semakin berkurang. Pada lingkungan pergaulan tertentu, seperti di hotel, kantor, pertemuan resmi, pesta, dan pertemuan elite lain, berbahasa Sunda cenderung dirasa kurang modern. Demikian juga di pusat-pusat perbelanjaan.

Sadar Sunda

Kita membutuhkan program besar, yaitu program sadar Sunda di masyarakat Jabar. Proses “kepunahan” bahasa Sunda ini selalu dialamatkan pada struktur basa Sunda yang feodal. Undak usuk basa Sunda dinilai sangat struktural, birokratis, dan feodal sehingga sulit dikuasai orang Sunda dari zaman ke zaman, apalagi oleh generasi muda yang terdidik dalam lingkungan pendidikan modern.

Undak usuk dirasa berseberangan dengan arus demokratisasi dan egalitarianisasi masyarakat. Sopan santun sebagai etika tentu saja harus tetap dipelihara, tetapi tidak dibingkai dan distrukturkan dalam semangat feodal. Inilah tugas besar yang mesti dipikirkan para inohong Sunda.

Pada aspek lain, kondisi kebudayaan Sunda yang memprihatinkan ditemukan pada sangat sedikitnya historiografi Sunda, baik yang ditulis orang Sunda sendiri, apalagi sejarawan asing, terutama bila dibandingkan dengan Jawa. Tampaknya eksistensi kebudayaan Sunda yang “kalah” ini kurang menarik minat sejarawan, terutama sejarawan asing, untuk mengungkap sejarah Sunda, seperti ketertarikan mereka yang luar biasa pada sejarah Jawa.

Dalam studi sejarah dan kebudayaan Jawa dikenal nama-nama kondang seperti Raffles, CC Berg, HJ De Graaf, Pigeaud, Teeuw, Ben Anderson, Emmerson, dan Clifford Geertz yang telah melahirkan karya-karya masterpiece tentang Jawa. Karya-karya mereka kini telah menjadi klasik. Literatur akademik tentang Jawa berbeda dengan Sunda, sangat banyak dan mudah didapat. Sekarang, syukur muncul Penerbit Kiblat yang banyak menerbitkan buku Sunda, tetapi masih didominasi karya sastra. Kajian akademik masih sulit ditemukan.

Miskinnya historiografi Sunda mengandung pesan historis bahwa sumbangan kelompok etnis ini pada sejarah dan kebudayaan nasional seolah kecil. Istilah kenegaraan yang diabadikan menjadi istilah nasional resmi, seperti pancasila, negara, bina graha, eka prasetya pancakarsa, sapta marga, istana, tut wuri handayani, dan tri dharma, dipandang sebagai sumbangan konsep Jawa dalam kebudayaan politik nasional.

Sistem politik Orde Lama, Orde Baru, dan Pancasila yang dibangun atas faham “kekuasaan Jawa” juga menunjukkan sumbangan besar Jawa dalam pemikiran sistem politik kenegaraan Indonesia. Hal ini masih ditambah dengan kuantitas orang Jawa yang menjadi pemimpin nasional dibandingkan dengan orang Sunda.

Bila selama ini ada beberapa pernyataan optimistis dari para juragan dan inohong Sunda bahwa kebudayaan Sunda akan bertahan di tengah globalisasi, yang dimaksud sebetulnya adalah masih ada “sisa-sisa” kebudayaan Sunda. Hal itu terlihat pada acara tertentu atau pada usaha mempertahankan budaya lewat pertunjukan formal; acara televisi; atau rembukan formal tentang seni, sastra, dan kebudayaan Sunda. Hal itu sangat berbeda dengan kebudayaan aktual, yaitu nilai, pandangan hidup, identitas budaya, dan gaya hidup di tengah masyarakat.

Desundanisasi

Dari ulasan tersebut tampak bahwa kebudayaan Sunda tengah mengalami desundanisasi yang dahsyat. Proses ini tidak mustahil akan berakibat pada punahnya kebudayaan Sunda pada masa mendatang. Kepunahan ini bakal terjadi bila kebudayaan Sunda semakin kehilangan fungsinya di tengah masyarakat Sunda kontemporer. Kehilangan fungsi budaya ini ditunjukkan oleh sikap dan kenyataan bahwa generasi muda Sunda merasa sudah tidak perlu ber-Sunda pada zaman modern ini.

Sebab, dari perspektif Toynbee-an, kebudayaan Sunda telah kehilangan elan vital dan daya respons atas tantangan yang dimunculkan oleh modernisasi dan globalisasi. Secara fisik urang Sunda tentu akan tetap menghuni kawasan yang disebut Jabar ini, tetapi secara kultur terus tergerus ke “selokan-selokan” kebudayaan. Kepunahan budaya bukan hal yang mustahil. Maka, tugas para inohong, pemikir, pemerintah, dan elite Sunda adalah memikirkan strategi budaya agar kebudayaan Sunda tetap bertahan dalam arus perubahan dan tetap identik dengan kemajuan dan kemodernan

D. Upaya Melestarikan Budaya Sunda

Sebagai upaya melestarikan kebudayaan Sunda di Jawa Barat, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menerbitkan majalah Cahara Bumi Siliwangi. Majalah ini diharapkan menjadi sarana pengembangan budaya daerah, khususnya bahasa Sunda.

"Kami akan terus merancang program yang bertujuan mengangkat budaya Sunda di lingkungan Jabar dan majalah adalah media yang kita gunakan untuk mengomunikasikan bahasa Sunda, khususnya dalam lingkup pendidikan," jelas Rektor UPI, Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. di acara "Pinton Seni Riksa Budaya Sunda dan Launching Majalah Sunda" di Buruan Gedung Bumi Siliwangi..

Dikatakannya, UPI sebagai universitas pendidikan merasa bertanggung jawab untuk turut memelihara dan mendukung perkembangaan kebudayaan Sunda. Untuk itu, penerbitan majalah Cahara Bumi Siliwangi yang merupakan majalah ilmiah diharapkan dapat membantu mengomunikasikan bahasa Sunda dalam dunia pendidikan.

"Kita ingin membuat bahasa Sunda bukan hanya sekedar bahasa pergaulan sehari-hari, tapi juga dapat dipakai dalam bidang keilmuan, agar ke depannya para generasi muda dapat turut memberikan apresiasi untuk kebudayaan Sunda," imbuh pemimpin redaksi majalah tersebut, Dingding Haerudin kepada wartawan usai acara.

Dalam rangka promosi, majalah Cahara Bumi Siliwangi ini akan diterbitkan sebanyak 1.000 ekslempar yang akan dibagikan ke berbagai sekolah dan instansi di Jabar. Rencananya majalah ini akan diterbitkan 3 bulan sekali.

Saat ditanya mengenai respons masyarakat atas terbitnya majalah ini, Dingding mengaku optimis akan mendapatkan respons yang baik. Menurutnya majalah ini juga dapat membantu masyarakat agar tidak kehilangan identitas dirinya sebagai warga Jawa barat.

Demikian pula dengan kita, kita dapat melestarikan budaya kita ini dengan berbagai cara, seperti dengan menghargai dan menggunakan karya dalam negri dalam hal ini yaitu budaya sunda dan hasil karyanya, kemudian dengan terus melestarikan dan menjaga budaya ini jangan sampai dijiplak oleh negara lain.

E.Kesimpulan

Kita sebagai warga Negara Indonesia harus menghargai, melestarikan, menjaga budaya asli negara kita yang telah ada sejak dulu, dalam hal ini budaya sunda. Apalagi kita sebagai masyarakat asli sunda.

Sumber : http://budayasundadiindonesia.blogspot.co.id/